Jati Diri Picturebook
- dancing2debussy
- Sep 28, 2024
- 3 min read
Catatan penguraian singkat usai penghargaan IKAPI Award Children's Book of the Year yang diberikan untuk buku Bintang & Gerhana.

Setelah selebrasi selepas menerima IKAPI Award, aku tanpa sadar jadi sedikit merenung tentang ‘buku untuk anak-anak’ (picturebook, buku cerita bergambar, children’s book, book for young readers) dan ekosistem penciptaannya. Membongkar-bongkar arsip untuk mengunjungi kembali proses pembuatan buku Bintang & Gerhana membuatku bertanya-tanya. Kenapa buku ini dipilih? Siapa yang memilih? Untuk apa, untuk siapa kategori ini ada?
Picturebook lahir dari upaya kolaboratif imaji dan kata-kata. Ini sebetulnya kutipan langsung dari Mac Barnett (penulis Extra Yarn) di salah satu interviewnya. Dia bilang ‘story is what happens when words meet pictures.’ Cerita dalam buku tidak bertulang-punggung teks dengan visual sebagai pelengkap. Proses menjadi sebuah buku bukan ada di awal atau akhir, tapi di proses pertemuan yang terjadi di dalamnya. Bagiku justru inilah daya tarik picturebook yang membuatku jatuh hati padanya sebagai sebuah medium berkarya. Picturebook adalah produk yang akan selalu hadir dalam posisi ‘menjadi’, ia baru akan ‘jadi’ dan utuh seusai dibaca. Kata dan imaji hadir di atas kertas untuk kemudian bertemu di alam pikir dan imajinasi pembaca.
Pertemuan itulah yang menurutku adalah inti hati dari sebuah picturebook—atau apapun itu yang akhirnya membuat ia berarti.
Story is what happens when words meet pictures — Mac Barnett

Menciptakan Bintang dan Gerhana hingga ia hadir dalam rupanya saat ini merupakan proses yang sangat aku nikmati meski dengan lika-likunya. Tim penerbit mampu menyambut visi artistik yang kubawa dan akupun diberi ruang yang cukup leluasa untuk bereksperimentasi (namun jika misalnya ruang itu tidak diberikan, aku pasti akan menuntutnya dengan sopan). Berakar dari kegemaran membaca, aku melihat naskah bagai sebuah danau, dan tugasku sebagai pencipta narasi visual adalah menemukan jantungnya yang masih setengah berdegup. Teks dan imaji jadi punya nyawa masing-masing, namun berdetak dalam ritme dan inti hati yang sama sehingga degupnya utuh. Dalam pencarian ini, pemahaman akan konsep ‘pertemuan’ yang dimaksud Mac Barnett-lah kompas yang menuntunku.
Berdasarkan pengalamanku sejauh ini terlibat dalam sejumlah pembuatan buku, aku menyadari satu hal. Dalam proses penciptaan, mutual respect jadi hal yang sangat penting. Dengan kelindan segala elemen dan berbagai macam ego, ekosistem penciptaan yang sehat, yang harmoni antara editor, writer, ilustrator, book designer, art editor dan lainnya sebagai lapisan dalam perlu memiliki mutual respect sesama pihak terlibat. Tidak harus lebih, tidak kurang, yang paling penting adalah tidak timpang.
Jika semua saling percaya bahwa tiap orang yang terlibat memiliki kapasitas dan keahlian masing-masing, dari sini, pertukaran ide dan kritik jadi bisa memperkaya karya alih-alih jadi keluh yang hanya bisa dipendam dan menghitam.
Di Indonesia, sayangnya lebih sering timpang daripada imbang. Dari yang halus seperti mutual respect sampai yang eksak seperti harga jasa. Seperti contohnya yang terjadi beberapa bulan lalu di tahun ini. Banyak program pembuatan buku yang ekosistem penciptaannya timpang, ego pihak-pihak yang terlibat saling tumpang tindih, danaunya jadi keruh dan ruangnya sesak. Belum lagi di lapisan luarnya yang juga masih belum imbang, seperti misalnya tidak tercantumkannya nama ilustrator dalam keterangan buku dan liputan media yang kikuk.
Faktanya, memang masih umum persepsi bahwa ilustrasi untuk buku anak-anak hanyalah warga kelas dua. Alhasil, banyak buku yang lahir tanpa jiwa, di dalamnya hanya ada monolog dan ruang pertemuan yang dingin.
Keberadaan kategori Children’s Book of the Year dalam IKAPI Award (pertama kali diberikan tahun 2023 kepada Kejutan Kungkang) menurutku adalah salah satu inisiatif krusial untuk perlahan menyelaraskan yang timpang. Bahwa asosiasi penerbit Indonesia memberikan perhatian khusus pada picturebook bagiku setidaknya menandakan secara kolektif di negara ini kita merayakan buku cerita bergambar sebagai sebuah karya, tidak sepele, diakui perannya dalam ekosistem literasi Indonesia yang bersama-sama sedang kita perkuat.
Namun masih banyak PR dan peran-peran lain yang harus dijalankan. Kita harus selalu bertanya, apa saja yang dibutuhkan ekosistem literasi dan industri buku anak Indonesia supaya menjadi lahan subur yang mendukung-merayakan benih dan tunas yang tertanam di dalamnya? Dimana posisi kita masing-masing dalam konstelasi peran tersebut?
Untuk industri buku anak-anak kedepannya, aku ingin mutual respect bisa hadir dan mewujud secara nyata di setiap lapisan baik dalam lingkup kecil ekosistem penciptaan juga dalam ekosistem literasi Indonesia secara keseluruhan. Aku ingin kesungguhan hati yang bersambut, sehingga bisa muncul lebih banyak lagi di Indonesia karya-karya berkualitas tinggi yang lahir dari para pencipta yang berkreasi dengan suka cita (bukan suka duka, suka-suka, apalagi duka-duka).
Terimakasih pembaca Bintang & Gerhana.
Terimakasih sudah membaca.
Peace out,
Ikku

P.S.
Sejujurnya aku masih bingung terjemahan picturebook dalam bahasa indonesia. Buku cerita bergambar? Buku bergambar? Maaf kalau aku sepanjang tulisan bertukar-tukar penyebutan. Namun sepertinya picturebook tidak samadengan buku anak-anak. Seperti 絵本 / e-hon dalam bahasa Jepang misal yang artinya buku bergambar, bukan buku untuk kelompok umur anak-anak).